08 Oktober 2009

Semua Ada Tarifnya

FEATURE
Jakarta, 5 Oktober 2009

Semua Ada Tarifnya
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://www.pacamat.com)

TEMBOK beton setinggi delapan meter itu tampak kokoh menjulang. Untaian kawat berduri di sepanjang puncaknya menambah keangkerannya. Dindingnya memampang sebuah poster ukuran jumbo bertuliskan: "Memberi atau menarik pungutan liar melanggar hukum".

Puluhan orang tampak gelisah duduk-duduk di areal depan tembok. Maya, 30, bukan nama sebenarnya, salah satunya, memasang telinga menunggui namanya dipanggil melalui alat pengeras suara. Ia hendak membesuk adiknya yang sudah 11 bulan mendekam LP Cipinang, Jakarta Timur. Ia datang bersama Ani, 20, kekasih sang adik.

LP Cipinang membuka waktu besuk setiap hari kecuali Jumat dan Minggu. Waktunya dibagi dua kali, pukul 09.30-12.00 dan 12.30-15.00.

Sebelum memasuki ruang besuk, ada beberapa gerbang pengaman berlapis yang harus mereka lewati. Total ada empat pos pemeriksaan. Paling pertama, loket pendaftaran. Di tempat ini mereka terlebih dulu mengisi semacam blangko yang memuat berbagai keterangan. Tertulis nama-nama pembesuk, nama napi yang dibesuk, dan nomor identitas diri.

Dari situ kita akan mendapat nomor antrian. Empat deret kursi plastik menjadi tempat menunggu sampai nama kita disebut melalui pengeras suara. Area menanti itu terletak di sebuah pelataran terbuka persis di depan sebuah gerbang besi yang terlihat kokoh. Tingginya pas satu orang dewasa. Ada lubang tempat mata yang hanya bisa dibuka dari dalam.

"Grekk...", bunyi grendel gembok gerbang itu menyentak lamunan Maya. Nomor antriannya, 148, sudah dipanggil melalui alat pengeras suara.

Memasuki gerbang, terhampar ruangan seluas sekitar 5x5 meter. Beberapa penjaga berseragam coklat tampak berjaga-jaga. Saku kiri seragamnya berterakan: "Polsuspas" (polisi khusus pemasyarakatan).

Di sini masih ada tiga pos lagi. Perhentian pertama, petugas akan memeriksa ulang blangko yang kita isi. Khusus pria harus meninggalkan KTP. Kemudian punggung tangan kanan diberi cap berdiameter 1 cm bertuliskan: "LP Cipinang Kelas I".

Setelah tas para pembesuk melewati alat sinar-X, ada pos dua, tempat penitipan hp (hand phone). Segala alat komunikasi yang dibawa pembesuk diminta dan dimasukkan ke dalam loker-loker kecil. Di tempat ini juga, pria akan diberi kartu bertuliskan "pengunjung" beserta nomornya untuk digantungkan di leher.

Pos terakhir, persis di sebelah pos kedua, khusus pria, sang petugas akan menggeledah seluruh tubuh. Isi dompet pun tak ketinggalan diperiksa benar.

Setelah sukses melewati ini semua, barulah pembesuk dapat memasuki ruang besuk, semacam aula besar berbentuk persegi panjang. Ukurannya sekitar 10x6 meter. Udaranya segar berkat kipas angin yang tersebar di langit-langit ruangan.

Di situ berjejer kumpulan kursi-kursi yang mengelilingi meja semacam di kafe. Tiap kumpulan berisi empat kursi, dua saling berhadap-hadapan. Dinding paling belakang ruangan itu memampang poster jumbo ukuran 4x2 meter. Isinya tentang prosedur pengurusan pembebasan bersyarat (PB ) bagi narapidana.

Di bagian pojok terdapat semacam kios yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Dari rokok, gula, teh, kopi, mie instan, sampai bahan deterjen. Kios ini disediakan bagi pembesuk yang hendak membelikan barang bagi narapidana.

Sewa Kamar

Suasana ketika itu sudah ramai benar. Para narapidana sudah tenggelam dengan pembesuknya masing-masing. Semuanya mengenakan rompi berwarna kuning terang. Di punggungnya melingkar tulisan "Narapidana LP Cipinang". Dituliskan dengan huruf besar semua.

Rahmat, 26, bukan nama sebenarnya, tampak sudah menunggu tak sabar di kursi tunggu dengan napi-napi lain. Ia langsung menghampiri Maya dan Ani Tangan sang kakak langsung diciumnya. Sedang Ani, langsung diciumnya di pipi.

"Kak, nanti jangan lupa belikan rokok putih satu pak untuk sipir. Tadi saya sudah dipesannya. Wajib!" pesan Rahmat.

Semua bisa diatur asal ada imbalannya berlaku benar di sini. Dari balik jeruji, segala kebutuhan bisa terpenuhi. Mulai dari air mineral, hp, televisi, magic jar, sampai alat permainan playstation bisa tersedia asal ada uangnya.

Tak hanya itu, untuk menuju dan kembali dari ruang besuk saja ada uangnya. Tiap napi harus menyediakan minimal Rp30 ribu jika tak mau dipukuli sipir. Dari sel mereka harus melewati lima sipir. Masing-masing meminta Rp5 ribu. Plus "biaya sewa" rompi kuning yang menjadi identitas diri para napi selama di ruang besuk, Rp5 ribu lagi.

Rahmat sendiri mengaku kini tinggal di kamar khusus. Ukurannya lumayan luas, 3x3 meter. Isinya komplit. Mulai dari dispenser, televisi, vcd player, sampai playstation ada.

Kamar mewah itu dipatok uang sewa Rp300 ribu sebulan.


Dari pengakuannya, di dalam LP ada banyak kamar sewa yang disediakan khusus bagi napi berduit. Di kamar itu, hanya playstation yang harus dia bawa sendiri. Kakaknya lah yang menitipkan pada petugas.

"Bayar Rp50 ribu untuk 'ongkos kirimnya'," kata Maya.

Rahmat bisa dikatakan napi yang beruntung. Kakak dan keluarganya rela merogoh kocek demi memenuhi segala kebutuhan dia di dalam. Pada minggu-minggu pertama pria berkulit sawo matang itu ditahan, dia langsung meminta Rp500 ribu pada keluarganya. Uang sebesar itu diminta napi-napi lain di bloknya sebagai syarat jaminan keamanan.

Keluarganya pun menuruti sebisanya. "Habis kasihan. Kalau tidak bisa menyediakan, katanya dia akan digebukin," kata Maya.

Rahmat adalah narapidana kasus narkoba. Ia dibui gara-gara dijebak kawannya. "Teman saya itu 'cepu'," tuturnya.

"Cepu" adalah istilah di antara narapidana untuk menyebut mata-mata polisi. Mantan narapidana atau mereka yang pernah terkait kasus yang kemudian direkrut kepolisian. Kerjanya menjebak kawan-kawan lainnya dengan imbalan uang.

Pandangannya lalu menerawang mengingat kembali masa dia pertama kali berurusan dengan hukum. Waktu itu dua bulan menjelang Lebaran 2008. Teman Rahmat hendak berpesta besar. Dia meminta tolong padanya untuk mencarikan paket ganja.

Meski sadar risikonya besar, dia tak sanggup menolak. "Saya ini terlalu setiakawan. Apapun yang teman minta, saya usahakan selagi saya mampu," ujarnya.

Malang baginya. Sesampainya di tempat bandar yang biasa menjadi tempat langganan temannya, tak hanya sang bandar yang menyambut, beberapa polisi berpakaian preman langsung mendekapnya.

Tiga hari ia ditahan di kantor Polres. Selama itu pula ia harus menerima perlakuan kasar di luar batas kewajaran. Ia dipukuli, diinjaki dengan sepatu lars, sampai disuruh tidur dengan posisi tergantung secara terbalik.

Dari situ ia dipindahkan ke Rutan Cipinang, persis di sebelah komplek LP Cipinang. Tiga bulan ia di sana selama menunggu masa persidangannya selesai. Palu diketuk, hakim menjatuhkan vonis bersalah dengan masa hukuman penjara 1 tahun 8 bulan.

Hari pertama dipindahkan ke LP tak akan pernah dilupakannya. Sama seperti kebanyakan kawan lain, sebelum dimasukkan ke sel, dia disambut 'ucapan selamat datang' dari para sipir. "Lagi-lagi saya dipukuli, ditendangi, sampai diinjak-injak. Memukulnya jarang pakai tangan kosong, minimal kabel listrik besar dijadikan alatnya," kisahnya.

Kini setelah 11 bulan mendekam di penjara, kehidupannya makin membaik. Dia sudah dikenal baik oleh beberapa sipir dan napi-napi dari blok lain. Dia kini bergabung menjadi "tangpir" musik. Tangpir adalah istilah bagi napi yang dipercaya membantu tugas sipir. Macam-macam tugasnya. Ada yang bertugas di kantor pelayanan di lantai atas komplek LP, urusan kebersihan, hingga perkara makanan.

Tugasnya sebagai tangpir musik adalah menjadi pengisi saban ada acara yang digelar di sana. Lebaran lalu dia menjadi pengisi acara. Dia bermain drum di dalam sebuah band yang berisikan para napi.

Tak terasa sudah 30 menit berlalu. Jatah waktu kunjungan sudah habis. Para sipir sudah ramai berteriak-teriak: "Waktu habis... waktu habis...."

Secercah harapan terpintas di wajah Rahmat. Seperti teriakan sipir, waktunya di LP memang sebentar lagi akan habis. Ia menjalani hukuman 38 hari lagi. "Bulan lima, tahun 2010," katanya.

Selepas dari penjara, dia mengaku hendak pulang ke kampung asal orangtuanya, Serang, Banten. "Saya sudah kapok hidup begini. Ga lagi-lagi menyentuh dengan yang namanya narkoba. Saya ingin menjadi petani saja," tuturnya. (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Rajawali itu Terbuntal Kain

FEATURE

Jakarta, 2 Oktober 2009
Rajawali itu Terbuntal Kain
Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://foto.detik.com)
MATAHARI mulai membakar ubun-ubun di sebuah bilangan Jakarta Timur. Bau kotoran hewan bercampur aroma keringat menyengat hidung di sebuah gedung berlantai dua. Cat-cat dinding gedung itu terlihat kusam dan terkelupas di sana-sini.

Di seluruh penjuru gedung beragam jenis satwa menyapa, mulai dari beraneka jenis burung, kucing, hamster, kelinci, marmut, ikan, ular, tupai, hingga ayam. Kicauan burung dari segala jenis menyeruak ke telinga. Ramai benar.

Di atas adalah potret sehari-hari di Pasar Burung Pramuka, Jakarta Timur. Saban Sabtu-Minggu, pasar yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu selalu dijejali dengan pembeli, terutama para penggemar burung.

Maksud kedatangan mereka sama beragamnya dengan asal kedatangan mereka. Ada yang hendak membeli pakan hewan, obat ternak, sangkar burung, sampai yang sekadar berkeliling melihat-lihat aneka ragam satwa di sana.

"Saya sudah sejak lama menggemari burung kicau. Selain mencari pakan burung, hampir tiap minggu saya kesini untuk menambah koleksi saya," ujar Teguh, 32, pembeli asal Rawa Barat, Jakarta Utara, bersemangat.

Sepintas lalu tak ada yang janggal di sini. Aktivitas antara padagang dan pembeli di sini tak jauh beda dengan di pasar-pasar hewan lain. Untuk koleksi satwanya? "Di sini jauh lebih komplit," akunya.

Namun jika jeli, kita akan mengelus dada menemukan realitas pelik yang mengancam dunia fauna bangsa ini terjadi di sini. Ternyata pasar inilah yang menjadi arena transaksi terbesar satwa langka di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Memang, berkali-kali polisi maupun Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menggelar razia satwa langka sebagai upaya membongkar rantai perdagangannya. Namun, di pasar gelap, nyatanya transaksi haram ini masih saja terus berlangsung. Perdagangan satwa langka nyatanya belum terhenti.

Pasar Pramuka disebut-sebut sebagai titik sentral pusat transaksi. Tempat ini bagian dari Kota Jakarta yang diyakini menjadi salah satu simpul utama jaringan perdagangan satwa langka di Indonesia.

Secara kasat mata, aktivitas terlarang di Pasar Pramuka tak terlihat. Gencarnya operasi yang dilakukan berkenaan dengan kejahatan lingkungan ini memaksa para cukong dan pedagang untuk memutar otak. Keuntungan besar yang didapat per transaksi membuat mereka terus mencari siasat untuk bertahan. Proses transaksi dirapikan.

Ketika didatangi orang-orang dari luar rantai mereka, mereka pun bersikap cermat. Mereka hanya akan menunjukkan "barang" kepada langganan tetap atau mereka yang menunjukkan minat kuat membeli. Dengan modus ini para pedagang melenggang kangkung mereguk uang haram.

Rajawali

Saya belum lama ini mengunjungi Pasar Pramuka untuk melihat sendiri. Dengan belagak menjadi calon pembeli, awalnya saya bersikap laksana pembeli biasa. Melihat-lihat burung hias, menikmati kiacauan-kicauan aneka burung, hingga bertanya ngalor-ngidul tentang jenis-jenis burung dan pakannya.

Di seluruh tempat, tak ada satupun pedagang yang memajang satwa-satwa terlarang di kios mereka. Namun ketika saya mulai bertanya mengenai keberadaan hewan langka ke beberapa pedagang, perlahan pintu membuka.

Kios pertama yang memancing kecurigaan adalah los terdepan dekat area parkiran. Sepintas tak beda dengan kios lain. Di bagian depan tergantung puluhan kandang dari kayu berisikan burung beraneka jenis.

Di dalam kios berderet rapi tumpukan menjulang puluhan kandang. Isinya burung kicau semua. Namun ketika pandangan sampai ke bagian pojok depan, terdapat sebuah kandang besi besar. Isinya dua anak beruk.

Primata rekan pemanjat pohon kelapa itu ditawarkan Rp350 ribu per ekor. "Sehat-sehat ini, Bang. Bagus kalau mau ditaruh di kandang-kandang di rumah," kata Robi, penjaga kios, menawarkan dengan ramah.

Kecurigaan timbul karena tak biasanya kera setinggi 30-an cm ditempatkan di sebuah kandang setinggi hampir 2 meter. "Ada yang lebih besar lagi ga Bang? Mau ditaruh di kandang besar, biar bagus," saya coba memancing

Keramahan Robi di awal pertemuan segera sirna. Matanya memicing, mulai memperhatikan saya dari ujung kaki sampai rambut. Gesture tubuhnya mulai tertutup.

Ketika saya terus meyakinkan mengaku sebagai orang suruhan, dia mulai sedikit melunak. "Disuruh bos. Buat mengisi kandang besar yang sudah disiapkan di areal pekarangan rumah," jelas saya berdalil.

Dia lalu menawarkan siamang (Symphalangus syndactylus), salah satu primata yang dilindungi. Hewan ini dibanderol Rp2,5 juta untuk dewasa dan Rp3,5 juta untuk yang kecil.

Kenapa yang muda justru lebih murah? "Lebih mudah dijinakkan," jelas Robi.

Dia mengaku memang tidak membawa siamang ini di pasar. Kalau saya mau membeli hari itu juga, dia tinggal mengambilkannya di rumah kerabatnya di Jalan Pembina, persis belakang Pasar Pramuka. Dia juga menolak ketika saya meminta diajak ikut serta ke lokasi penyimpanan.

Dia mengaku punya pengalaman buruk dengan mengakan calon pembeli. Pernah ada orang yang mengaku pembeli ternyata seorang aktivis LSM lingkungan. Orang ini lalu mengadu ke aparat. Buntutnya panjang. Hewan-hewan dagangannya disita semua. Temannya sesana pedagang bahkan ada yang sampai diseret ke pengadilan.

Apalagi untuk memajang siamang itu di display. "Takut kena razia Polisi Hutan. Kalau ketahuan dendanya Rp100 juta. Bukan untung malah tekor," ujarnya.

Dia juga menawarkan owa. Namun untuk mendapatkannya, dia harus memesan dulu ke cukong. Pembeli disuruh menunggu barang seminggu. "Mereka dapat dari pemburu liar di Kalimantan. Tapi kalau situ positif mau, tinggalkan uang muka saja. Paling lama seminggu pasti datang," ujarnya mantap.

Selain kedua primata itu, dia juga bisa menyediakan burung jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dan kakatua. "Kalau burung-burung ini mudah didapat. Sudah banyak yang menangkarnya. Dua jenis ini sama harganya, Rp1 juta sepasang."

Menurut pengakuan Robi, tak seperti dulu, kini orang utan (Pongo pygmaeus) dan kuskus (Phalanger spp) sudah sukar ditemukan di Pasar Pramuka. "Sekarang susah lakunya. Jadi kini kebanyakan barang langsung dilempar ke luar negeri," katanya.

Beringsut dari situ, saya menemui pedagang lain di lantai dua. Jono namanya. Di sebelahnya tampak seorang kawannya. Badannya besar. Tangan kirinya yang penuh tato sampai pergelangan. Menurut beberapa pedagang di sana, dia ini salah satu "sekuriti" yang disegani di situ. Keduanya tampak duduk santai di sebuah dipan panjang dari kayu.

Jono sedang menunggui tiga kandang di depannya. Isinya tiga ekor kucing ningrat: Anggora, Persia, dan Himalaya. Yang paling mahal Himalaya, mencapai Rp1,25 juta per ekor. Kemudian jenis Persia Rp1 juta dan Anggora Rp750 ribu.

Saya yang awalnya berpura-pura akan membeli kucing, lalu menanyakan elang Jawa (Spizaetus bartelsi), burung langka yang dilindungi.

"Wah, di sini mah udah ga ada, Bang," tukas Jono cepat. Nada suaranya seperti tertahan. Mimiknya lalu berubah serius. Sorot matanya seketika menajam memperhatikan saya.

Jika dia dia sanggup mencarikan, saya menjanjikan hubungan ini akan terus berlanjut. Jono mulai melunak.

"Kalau situ memang pasti mau, ada," ujarnya lirih.

Dia lalu menawarkan elang. Burung langka yang dirahasiakan tempat penyimpanannya ini dibanderol Rp750 ribu per ekor. Dia punya dua macam, warna hitam polos (elang hitam) dan abu-abu (elang Jawa). "Kalau situ mau, ada juga rajawali. Warnanya coklat. Bagus, masih jinak," katanya.

Saya kemudian diminta menunggu di kios Jono. Ketika berdua saja dengan kawan Jono, sang pemuda bertato tampak gelisah. Matanya awas memperhatikan gerak-gerik saya. Bicaranya pun dijaga ketika saya mengorek beberapa informasi.

Tak sampai 10 menit, Jono kembali bersama seorang pemuda, Dede. Mereka kembali dengan menenteng seonggok buntalan kain berwarna merah. Kain itu tampak kumal, terlihat seperti kain yang sering digunakan untuk mengelap segala sesuatu yang kotor.

Isinya? Seekor rajawali muda. Warna coklat tua, umurnya tiga bulan.

Burung itu terlihat sehat. Tak terlihat satupun bekas luka di seluruh tubuhnya. Namun cara Dede membawa layaknya memegang sulak itu membuat burung perkasa itu kehilangan kegagahannya.

"Nanti kalau umur satu tahun, tinggi tegak bisa sampai semeter," terang Dede berpromosi.

Selain rajawali, Dede mengaku masih memiliki seekor elang bondol umur satu tahun. Burung-burung langka itu didapatkannya dari hasil tangkapan para pemburu ilegal di Sumatera.

"Harus pesan dulu ke bos. Paling lama satu minggu barang sudah datang," katanya.

Dia tidak menjelaskan lagi siapa bos yang dimaksud ini. Namun Dede hanya berkisaj bahwa si bos inilah yang mempunyai jaringan langsung sampai sumber satwa di Sumatra atau Kalimantan.

Kiriman burung-burung itu datang melalui jalan darat. Burung-burung ini tidak dikirim sekaligus. Maksimal dua ekor sekali jalan. Hal itu untuk menghilangkan kecurigaan aparat dan menghindari razia.

"Kaki burung kita ikat, lalu kita masukkan kardus. Kita masukkan saja di bagasi taksi atau mobil boks," kata Dede.

Dia mendapatkan rajawali itu sejak umur sebulan. Dia yang memberinya makan setiap hari. Memandikannya, cukup taruh di kandang, dan disemprot air lewat selang.

"Kalau tahu kena air, dia akan membuka sayapnya lebar-lebar sendiri," kata Dede.

Sedang si elang, didapatkannya ketika umur satu tahunan. "Makanya sudah susah menjinakkannya," terangnya.

Sepintas memang agak susah membedakan antara rajawali (Accipiter striatus) dengan elang. Apalagi ketika masih sama-sama muda. Bentuk paruh keduanya mirip. Yang membedakannya ada di ukurannya ketika dewasa. Tinggi rajawali dewasa bisa lebih tinggi, mencapai semeter.

Jika tertarik, dia meminta saya secepatnya meninggalkan uang panjer. "Barang bagus begini harus cepat, Bang. Lebih tiga hari bisa hilang. Yang nyari dari mana-mana. Pedagang pasar hewan Jatinegara atau Barito juga kalau butuh barang pasti kemari. Tapi kalau Abang sudah kasih panjer, jangan takut, ada yang nawar sampai Rp2 juta pun ga akan kami lepas," timpal Jono.

Mafia

Penelurusan di Pasar Burung Jatinegara, Jakarta Timur, membuahkan hasil serupa. Penjualan satwa langka di pasar yang berlokasi di Jalan Kemuning, Jatinegara, itu masih terus hingga kini meski lewat jalur belakang. Sudah tak ada lagi para pedagang yang berani memajang hewan-hewan eksotis ini terang-terangan. Mereka mengaku menyimpannya di tempat lain.

"Ada uang, ada barang," sebut sang pedagang ilegat.

Kabar bahwa perdagangan satwa ilegal di Jakarta memang bukan isapan jempol. Transaksi terlarang ini nyatanya masih terus terjadi meski selalu dilakukan diam-diam.

Pedagang satwa itu ternyata punya jaringan luas sampai ke sumber satwa di Kalimantan dan Sumatera. Mereka bagian dari mafia yang sulit disentuh aparat. Pengirimannya pun dilakukan rapi dan bisanya dilakukan dalam jumlah sedikit.

Padahal kegiatan ini jelas-jelas melanggar UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Di situ jelas, setiap orang dilarang untuk melukai, membunuh, memelihara, memperniagakan, atau menyimpan fauna langka dalam keadaan hidup atau mati maupun bagian tubuhnya. Hukumannya denda hingga Rp100 juta atau kurungan penjara selama 5 tahun.

Masih tingginya permintaan akan hewan-hewan ini bisa jadi menjadi salah satu muara permasalahan ini. Hukum ekonomi berbicara di sini. Penawaran berjalan berbarengan dengan permintaan.

Meski memang, aku Dede, karena harga dan biaya perawatan yang selangit ini, bukan sembarang orang yang mencari burung-burung langka ini. Jika bukan pejabat, ya orang yang memang sudah hobi benar.

Selain harganya yang selangit, biaya perawatan burung-burung besar juga menguras kocek dalam-dalam. Lihat saja kebutuhan makannya. Burung-burung pemangsa ini harus diberi makan minimal dua ekor ikan lele dewasa setiap hari, pagi-sore. Bisa juga tiga kepala ayam per hari.

Dede bercerita, belum lama ini ada orang yang mengaku sebagai suruhan seorang pejabat terkemuka negeri ini datang membeli sepasang rajawali sekaligus. Waktu itu mereka berani membayar Rp3 juta sepasang. "Katanya mau ditempatkan di sangkar besi yang besar," ujarnya.

Maka selama ada yang mencari dan berani membayar mahal, sang rajawali itu akan terus tenggelam dalam buntalan kain merah kumal itu. (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

23 Mei 2009

FISIP Undip Perbarui Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

BERITA

Semarang, 23 Mei 2009
FISIP Undip Perbarui
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

Oleh Anindityo Wicaksono
(Sumber gambar: http://gcaptain.com)

FAKULTAS Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang terus berbenah terkait visi "Undip menuju universitas riset yang unggul di Indonesia". Sebuah tim yang terdiri dari 21 orang staf pengajarnya kini sedang menggodok pedoman baru penulisan karya ilmiah mahasiswa.

"Pedoman baru ini ditargetkan selesai empat bulan mendatang. Hasil rumusan tim ini nantinya akan disosialisasikan kepada seluruh staf pengajar FISIP Undip," kata Sekretaris Tim Penyusunan Pedoman Karya Ilmiah FISIP Undip, dra. Apriatni Endang, Msi., ditemui di sela-sela rapat pleno pembahasan pedoman di ruang Prambanan lantai 2, Hotel Santika Semarang, Sabtu (23/5).

Tim yang terdiri dari seluruh ketua jurusan, sektretaris jurusan, dan perwakilan dosen dari masing-masing jurusan ini dibagi atas empat tim sesuai pokok bahasan yang menjadi tanggung jawabnya.

Adapun tim penanggung jawab terdiri dari Pembantu Dekan I dra. Sri Widowati H, M.S. sebagai pengarah, Dr. Sunarto, M.Si. dari Ilmu Komunikasi (ketua pelaksana), dan dra. Apriatni Endang P, M.Si. dari Ilmu Administrasi Bisnis (sekretaris).

Menurut Apriatni, dalam rapat pleno yang berlangsung antara pukul 08.00—16.30 ini masing-masing tim diberi waktu secara bergantian untuk mempresentasikan kajian pedoman yang menjadi tugasnya.

Rinciannya yakni karya ilmiah kuantitatif dibawakan Tim Kuantitatif, karya ilmiah kualitatif (Tim Kualitatif), teknik penulisan karya ilmiah (Tim Penyusun Teknik Penulisan), dan pedoman penulisan makalah (Tim Penyusun Pedoman Penulisan Makalah).

"Seluruh anggota forum akan saling memberi masukan dan sanggahan dalam menelaah pemaparan masing-masing tim. Dari sini diharapkan dapat ditemukan rumusan pedoman yang paling ideal," terangnya.

Merapikan

Apriatni mengatakan, rumusan pedoman karya ilmiah kualitatif maupun kuantitatif mencakup metodologi-metodologi baru yang dapat diterapkan pada penulisan karya-karya ilmiah mahasiswa.

Sedangkan untuk materi teknik dan pedoman penulisan, tambahnya, tatacara penulisan yang selama ini berlaku akan diperbarui. "Semisal pada sistematika penulisan per bab dan sub-bab, daftar isi, catatan kaki (foot-note), catatan akhir (end-note), atau daftar pustaka," katanya mencontohkan.

Menurut dia, "Tujuan akhir kegiatan ini adalah untuk merapikan dan memperbarui pedoman penulisan karya ilmiah yang sebelumnya berlaku." Hasil akhirnya yang berupa rumusan pedoman selanjutnya akan dijabarkan dalam buku pegangan mahasiswa mengenai pedoman penulisan karya ilmiah.

Pedoman baru ini akan mulai berlaku di lingkungan FISIP Undip sejak disahkan melalui surat keputusan (SK) dekan, ujarnya. (*)

(Dimuat di www.fisip.undip.ac.id)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

22 Mei 2009

Kunci Keberhasilan SOLOPOS (3-habis)

JURNALISME

Semarang, 22 Mei 2009
Kunci Keberhasilan SOLOPOS (3-habis)
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

PARA pakar yang menulis berbagai buku soal manajemen pemasaran, hampir tak satupun yang mengungkap adanya faktor keberuntungan dalam setiap upaya membangun sebuah usaha. Secara teoretis, dalam upaya membangun usaha sehingga bisa sukses harus melalui tahapan-tahapan perancangan matang mulai dari survei pasar, melakukan segmentasi, targeting hingga positioning.

Philip Kotler menyatakan bahwa manajemen pemasaran adalah, “Proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memenuhi sasaran-sasaran individu dan organisasi.” (Philip Kotler, 2002: 9).

Lantas bagaimana proses penerimaan konsumen terhadap sebuah produk baru? Apakah para pakar manajemen pemasaran juga tak menyinggung soal keberuntungan? Kotler menyatakan bahwa pada awalnya, para pemasar menggunakan pendekatan pasar massal (mass-market approach) dalam meluncurkan produk mereka.

Mereka mendistribusikan suatu produk ke semua tempat dan mengiklankannya ke semua orang dengan asumsi bahwa kebanyakan orang merupakan pembeli potensial. Pendekatan itu ternyata mempunyai dua kelemahan: membutuhkan biaya besar dan melibatkan banyak pengungkapan padahal mereka bukan konsumen potensial (Philip Kotler, 2002: 404).

Pendekatan pemasaran kedua adalah apa yang disebut sebagai pemasaran dengan sasaran pemakai utama (heavy-user target marketing), yaitu produk mula-mula diarahkan kepada pemakai utama. Pendekatan itu masuk akal, asalkan para pemakai utama itu dapat diidentifikasi dan mereka juga merupakan penerima awal. Tetapi bahkan dalam kelompok

Pemakai utama pun, konsumen memiliki perbedaan minat terhadap produk dan merk baru; banyak pemakai utama setia pada merk yang telah ada. Banyak pemasar produk baru sekarang mengarahkan strategi ke konsumen yang merupakan penerima awal yak pengungkapan padahal mereka bukan konsumen potensial (Philip Kotler, 2002: 405).

Penerbitan pers

Menurut teori penerima awal (early-adopter theory), orang-orang yang ada di pasar sasaran memerlukan jumlah waktu yang berbeda dari saat mereka mengetahui produk baru sampai saat mereka mencobanya. Penerima awal juga disebut memiliki beberapa sikap tertentu yang membedakan mereka dari penerima kemudian.

Penerima awal cenderung menjadi pemimpin opini dan berguna dalam mengiklankan produk baru tersebut ke pembeli potensial lain. Dalam teori manajemen pemasaran, dikenal pula adanya konsep tentang adanya lima tahap bagaimana seseorang bisa menerima produk baru.

Pertama, adalah tahap kesadaran (awareness) yaitu konsumen menyadari adanya inovasi tersebut tapi masih kekurangan informasi mengenai hal tersebut. Kedua, munculnya tahap minat (interest) dimana konsumen terdorong untuk mencari informasi mengenai inovasi tersebut.

Pada tahap ketiga konsumen memasuki tahap mempertimbangkan untuk mencoba inovasi atau tahap evaluasi (evaluation), keempat tahap percobaan (trial) di mana konsumen mencoba inovasi tersebut untuk memperbaiki perkiraannya atas nilai inovasi tersebut dan tahap kelima atau terakhir adalah tahap penerimaan (adoption), yaitu konsumen memutuskan untukmenggunakan inovasi tersebut sepenuhnya secara teratur.

Dari uraian di atas, jelas bahwa faktor keberuntungan tak pernah diakui secara ilmiah sebagai salah satu faktor yang menyebabkan sebuah produk baru bisa diterima oleh konsumen. Namun demikian, dalam bisnis penerbitan pers –setidaknya dalam kasus Harian SOLOPOS—ada beberapa kalangan yang menyebut bahwa faktor keberuntungan menjadi salah satu penentu diterimanya produk koran baru di wilayah Solo dan sekitarnya itu.

Sakdani Darmopamujo, sebagai orang yang mempunyai banyak pengalaman dalam membuat penerbitan media massa di Kota Solo mengatakan bahwa dalam kasus Harian SOLOPOS, momentum kerusuhan di Kota Solo pada bulan Mei 1998 menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan koran ini terbit di Solo.

“Ketika SOLOPOS lahir, terus terang saya meragukan (bisa hidup). Saya kenal Pak Kamdani (Sukamdani S Gitosardjonored), tapi kekuatan dananya kuat. Saya dulu ragu-ragunya kok namanya SOLOPOS, itu kan sangat lokal. Tapi dalam perkembangannya mungkin kemampuan redaksional, kemampuan pasar, pada waktu bersamaan peristiwa Mei bakar-bakaran di Solo (menjadi pendukung),” ujarnya.

Menurutnya, ketika kerusuhan terjadi, koran-koran yang biasa masuk Kota Solo ketika itu sama sekali tidak bisa hadir. “Waktu peristiwa di Solo itu koran-koran lainnya tidak hidup istilahnya, lalu ada yang berani membuat harian (SOLOPOS) sekaligus waktu itu langsung terekspos. Saya ada pengalaman lain, dulu ketika Darma Nyata itu pernah didongkrak oleh berita ketika Solo terjadi obong-obongan China sekitar tahun 1981-1982. Berita itu akhirnya saya manfaatkan juga.

Mungkin SOLOPOS bersamaan dengan peristiwa itu ada momentumnya. Andaikata Solo tidak terjadi obong-obongan belum tentu jadi (seperti sekarang). Tentu saja saya harus diakui bahwa manajemennya mampu dan lebih profesional,” kisahnya (Mulanto Utomo, 2007: 113).

Apa yang dipaparkan Sakdani tersebut bermakna bahwa ada faktor keberuntungan yang menyebabkan SOLOPOS bisa menjadi besar. Hal itupun diakui oleh salah seorang perintis koran ini, Bambang Natur Rahardi selaku Pemimpin Perusahaan, sekalipun “keberuntungan” itu bukan semata-mata sesuatu hal yang turun dari langit, namun juga karena ada faktor pembelajaran yang dilakukan manajemen.

“Saya lihat, yang dimaksud keberuntungannya itu sebetulnya lebih sebagai suatu momentum. Jadi tujuh sampai delapan bulan sejak kita mengeluarkan produk SOLOPOS ke masyarakat, pertumbuhannya tidak signifikan. Dari cetak 10.000 cenderung turun ke bawah sampai ke titik nadir sekitar 4.000-5.000.

Itu pergerakannya hanya 3.000, 3.500, 4.000 itu paling tinggi pada tujuh sampai delapan bulan pertama. Tapi dengan momentum kerusuhan itu mungkin yang membuat masyarakat tibatiba harus mengatakan saya harus memakai produk (SOLOPOS) ini,” terangnya.

Sekalipun demikian, menurut Bambang Natur, ada fenomena dari sisi pemasaran setelah ada momentum tersebut. Dari sisi pemasaran, sesuatu yang fenomenal itu adalah bagaimana mengubah persepsi orang dalam waktu pendek dan seketika bisa menerima dari produk lama ke produk baru.

Menurut Bambang Natur, untuk melihat kasus tersebut butuh kajian sendiri dan karena kasus ini mungkin agak unik. “Saya berpikir begini, kayaknya orang pada saat kerusuhan itu tingkat kesadaran merknya hilang. Tiba-tiba ada merk baru yang bisa mereka anggap bagian dari mereka. Mereka terima, dan mulai hari itu mereka bergerak, saya mulai pakai produk ini,”
jelasnya.

Momentum

Pertumbuhan pembaca SOLOPOS memang beda dengan pertumbuhan iklan. Pertumbuhan pembaca bisa tumbuh secara tiba-tiba ketika orang merasa ada kebutuhan untuk membaca SOLOPOS, sementara untuk memberi penyadaran orang untuk beriklan membutuhkan edukasi atau proses pembelajaran, sehingga tidak ada istilah keajaiban. Menurut data yang ada, di awal-awal SOLOPOS, pertumbuhan iklan ternyata lebih lambat ketimbang pertumbuhan pembaca.

Beberapa kalangan menilai pada saat kerusuhan Mei 1998, SOLOPOS mampu mengangkat isu secara tepat. Dan isu-isu kerusuhan yang diangkat saat itu ternyata sesuai kebutuhan masyarakat. Dari situlah awal ketertarikan awal masyarakat Solo dan sekitarnya kepada SOLOPOS dan terus berproses menjadi kepercayaan masyarakat kepada koran ini.

Ntok Pancowarno, salah seorang yang sejak tahun 1960-an ikut bergelut untuk membangun pers cetak di Solo, juga menyebut hal yang sama tentang momentum kerusuhan Mei itu. Dia menilai pada awalnya SOLOPOS hampir saja menambah jumlah bangkai koran di Kota Solo. Saat itu masyarakat Solo belum menerima SOLOPOS sebagai korannya orang Solo.

Pada saat kerusuhan terjadi, lanjut Ntok, orang Solo mulai butuh informasi tentang kerusuhan. Koran-koran lain ternyata menulis secara terbatas, sementara SOLOPOS mengekspos agak besar peristiwa tersebut.

“Foto-foto dan beritanya itu dibutuhkan orang-orang Solo yang kepingin tahu tentang kotanya. Naik oplahnya, begitu kerusuhan reda sudah tenang, hening itu turun tapi nyantholnya tinggi sekali. Terus mulai hari demi hari orang mulai butuh SOLOPOS,” bebernya.

Namun demikian, Ntok menyebut profesionalisme sebagai nilai tambah SOLOPOS sehingga mampu bertahan dan berkembang setelah momentum kerusuhan itu berakhir. Sebab momentum seperti itu pernah pula terjadi jauh sebelum SOLOPOS ada dan pada saat yang bersamaan telah pula terdapat media lokal. Namun media itu tak mampu memanfaatkannya karena ketiadaan profesionalitas para pengelola.

“Di Solo waktu ada kerusuhan Cina (tahun 1980-an), satu-satunya koran di Solo dan sekitarnya hanya Dharma Nyata. Tapi Dharma Nyata tidak pernah memanfaatkan itu karena mingguan. Satu lembar isinya berita harian tapi terbitnya mingguan, ” jelasnya.

Momentum yang terkadang diartikan sebagai sebuah keberuntungan atau karunia (blessing) dengan balutan profesionalisme, akhirnya memang menjadi kata kunci pertumbuhan sebuah perusahaan pers yang sedang dibangun. Koran sebesar Kompas pun, seperti dipaparkan Jakob Oetama sebagai salah seorang perintis, juga mengalami masa perkembangan yang sangat signifikan ketika memperoleh momentum yang tepat.

Perkembangan koran ini (Kompas) barulah terjadi setelah ada perubahan besar dalam tahun 1965, setelah peristiwa G.30.S/PKI. Pada mulanya perkembangan itu disebabkan oleh, pertama, peristiwa yang tegang setelah peristiwa G.30S/PKI, kedua adanya kebebasan pers yang lebih leluasa dibandingkan dengan periode sebelumnya dan ketiga adalah kemungkinan embrio sikap profesionalisme dalam redaksi maupun dalam pengelolaan bisnis yang berupa sirkulasi, iklan serta pengelolaan keuangan. (*)

(Dikutip dari Buku SOLOPOS, Satu Dasawarsa Meningkatkan Dinamika Masyarakat karya Mulyanto Utomo [2007], halaman 75-92)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Kunci Keberhasilan SOLOPOS (2)

JURNALISME

Semarang, 22 Mei 2009
Kunci Keberhasilan SOLOPOS (2)
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

NTOK Pancowarno, salah seorang saksi sejarah penerbitan pers di Kota Solo sejak tahun 1960-an hingga tahun 1990-an menyatakan pers yang pernah terbit di Solo akhirnya terkubur lebih banyak diakibatkan kurang profesionalnya organisasi industri itu secara keseluruhan (Mulyanto Utomo, 2007: 97).

“Solo punya julukan kuburan koran, itu karena koran yang ditangani waktu itu tidak ada yang profesional. Sebenarnya ada beberapa penulis (wartawan) yang potensial waktu itu, seperti Pak Nur Sahid, Pak Anjar Any dan Pak Sakdani. Mereka itu sudah boleh dikatakan bertaraf nasional. Tapi dalam pengelolaannya tidak ada rambu-rambu yang dibuat pimpinan secara jelas, jadinya ya macet," katanya.

Kalau misalnya waktu itu pemimpin membuat kebijakan merekrut orang yang mampu dan dibayar secara layak, mungkin beda sejarahnya. Beberapa ide pernah Ntok lontarkan, tapi tidak pernah digubris pimpinan, walaupun benar atau salahnya ide itu belum diuji. Misalnya soal mekanisme perekrutan tenaga, menurut dia itu penting sekali.

"Ngapain sih kita digaji segitu (tak cukup layak)? Waktu itu dua ratus ribu. Sebelumnya bahkan kita digaji enam puluh ribu. Ngapain kita digaji sementara tidak ada prospek. Mbok sudah aku nggak usah digaji, gajiku kuwi dikumpulke kanca-kanca untuk merekrut orang yang mampu. Kontrak satu tahun misalkan. Aku malah dikira sok pahlawan.” ujar Ntok.

Sakdani Darmopamudjo mengatakan tahun 1982 Darma Nyata dibuat menjadi bahasa Indonesia. Karena juga sebagian tidak profesional, dalam artian teman-teman (yang bekerja) itu masih merangkap, misalnya merangkap jadi guru dan sebagainya. Yang full ada tapi tidak banyak, terutama penentu-penentu policy orangnya merangkap. Sebenarnya pada tahun itu juga berjalan tapi juga rugi.

Sakdani menuturkan bahwa dia aktif di koran mulai 1965-1966. Sebelumnya dia adalah penulis lepas, pengarang di berbagai majalah, surat kabar. Pertama masuk di Mingguan Andika di Mesen. Pengusahanya namanya Masi Sen seorang Tionghoa, dia juga pengusaha toko emas. Sakdani membuka rubrik Pisungsung berbahasa Jawa. Kemudian Andika pecah menjadi Andika lalu Andika Baru. Sakdani juga mengaku pernah di Mingguan Gelora Berdikari yang terbit bersama Andika tahun 1965-1967.

Gelora Berdikari dulu milik PNI. Pecahnya Andika dan Andika Baru karena manajemennya tidak rukun dan aturan-aturannya tidak kuat. Lalu ada Gelora Berdikari yang tetap terbit, tetapi kemudian tahun 1969 karena ada pemikiran masyarakat terutama masyarakat pecinta bahasa Jawa perlu ada koran berbahasa Jawa. Kemudian lahirlah yang namanya Darmo Kondo.

“Kebetulan saya yang menjadi Pemimpin Redaksi. Tapi itu dilakukan karena adanya kesimpulan, keputusan Musyawarah Kerja Pengarang Sastra Jawa. Yang keputusannya adalah mendirikan koran di Yogya dan Solo. Akhirnya saya kembangkan menjadi Darmo Kondo. Modalnya dari beberapa, tidak hanya dari satu orang tetapi juga dari yayasan. Begitu lahir lalu besar sekali, jumlahnya sampai 33 ribu. Tapi tidak langgeng karena pecah lagi.

Saya (Sakdani) sebagai Pemimpin Redaksi, Pak Tukijo sebagai pemimpin umum tidak cocok dengan manajemen. Unsur-unsurnya ya unsur kurang transparan. Pemimpin Redaksi usianya masih muda yaitu usia 28 tahun. Lalu terjadilah konflik yang akhirnya pecah. Darmo Kondo sendiri saya membuat Darma Nyata. Pemimpin Redaksi nya diganti Pak Maryono yang waktu itu Ketua PWI. Karena dananya lebih, Darma Nyata dapat berkembang sejak tahun 1970 berkembang sampai tahun 1982.”

Dalam perjalanannya hingga mencapai sepuluh tahun, manajemen Harian SOLOPOS oleh informan yang diwawancarai dinilai telah dikelola sebagai mana layaknya sebuah organisasi industri modern.

Sakdani mengatakan, “Yang dimaksud ‘hidup’-nya sebuah media massa itu kan ada hidup yang dalam tanda petik dan juga hidup sesungguhnya. Mingguan Adil itu misalnya, juga Darma Nyata meskipun mampu 28 tahun hidup, tapi hidupnya ya... (seadanya).

Saya (ketika mengelola pers) dikenal teman-teman agak mendingan dalam memberi kesejahteraan. Ada perusahaan pers yang gajinya hanya bisa buat beli es saja. Nah itu pengertian hidup itu kan harus sehat dalam artian yang sebetulnya, karyawan harus sejahtera. Solo bertahun-tahun begitu, karena lahirnya pers di Solo ada ambisi dari orang pers di Solo. SOLOPOS itu menurut saya campuran dari keberhasilan yaitu momennya pas, manajemennya yang lebih baik.

Organisasi yang mengelola pers memang harus seimbang. Kalau kita hanya fokus idealisme, nanti apa yang dipakai buat makan karyawan? Kasarannya kan begitu. Nah sekarang kan banyak teman-teman yang tidak mengindahkan idealisme tadi. Jadi ibarat orang berumah tangga, bukan rasa cinta, kasih sayangnya, tapi seksnya saja. Itu kan harus dipadukan. SOLOPOS sudah melakukan itu.” (Mulyanto Utomo, 2007: 98-99).

Modal usaha

Budaya korporasi profesional yang terbentuk di SOLOPOS bukan terbangun secara serta merta namun melalui proses panjang karena pengaruh komitmen kuat para pendiri lebih khusus lagi para pimpinan. Pengaruh kepemimpinan yang tegas, tanpa kompromi ketika ada pelanggaran telah membentuk budaya disiplin, etos kerja rasa tanggung jawab di tingkat korporasi.

Ketegasan dalam meneggakkan aturan tanpa kompromi ini yang kemudian menimbulkan kepercayaan dari publik. Hal ini pula yang membedakan SOLOPOS dengan koran lain. Budaya kerja seperti ini yang perlu diteruskan dari generasi awal koran ini hingga saat ini dan ke depan. Budaya kerja tersebut salah faktor yang membuat SOLOPOS tetap eksis meski menghadapi para pesaing-pesaingnya.

Seorang akuntan publik di Solo, Rachmad Wahyudi, juga menyebut pengaruh kepemimpinan telah membangun budaya perusahaan dan etos kerja karyawan secara profesional.

“Saya bukan mengagung-agungkan atau melebih-lebihkan seorang Pak Danie (Danie H Soe’oed, Pemred) atau Pak Natur (Bambang Natur Rahadi, Pemimpin Perusahaan), tapi apa yang sudah mereka lakukan itu patut diteladani dan secara jujur harus kita akui eksistensinya," ujar Rachmad.

Mengutip wawancara Harian Kompas dengan Pimred Majalah Berita Mingguan Tempo Goenawan Muhamad yang menyatakan bahwa pers di Indonesia telah berkembang ke arah suatu bisnis, Jakob Oetama berpendapat bahwa pers Indonesia memang telah memasuki fase baru yang dalam pertumbuhannya menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan postur pers masa lalu.

Pers dulu, tambahnya, umumnya hanya terdiri dari redaksi yang hanya menguasai proses produksi berita; mesin cetak milik orang lain, iklan tidak banyak, oplah juga terbatas. Pers sekarang menjadi lembaga yang lengkap; redaksi, percetakan, manajemen (modern). Ada iklan cukup banyak pencapaian oplah di atas 100.000. Penampilan koran dan majalah itu pun modern, bertata warna dan memberikan kesan ditangani secara profesional (Jacob Oetama, 2001: 303).

Berkaca dari Harian Kompas, seperti dipaparkan Jakob Oetama selaku perintis penerbitan koran nomor satu di Indonesia yang terbit mulai 28 Juni 1965 itu, pada awalnya juga dibangun dalam suatu keterbatasan bahkan kesulitan dalam semua bidang, mulai personalia dalam bidang redaksi hingga personalia bidang distribusi.

“Tetapi kesulitan terbesar pada waktu itu adalah percetakan sehingga harus berpindah-pindah. Perubahan politik besar pada tahun 1965 telah membuat distribusi Kompas bisa ditangani sendiri. Tahun 1972 kami memiliki mesin percetakan sendiri berkat tersedianya kredit modal dari bank pemerintah asal sanggup menyediakan sisanya.

Embrio sikap profesionalisme dalam redaksi maupun dalam pengelolaan bisnis berupa sirkulasi, iklan serta pengelolaan keuangan menjadi salah satu faktor penting tumbuhnya Kompas sejak itu,” terang Jacoeb.

Hal tersebut berarti pula bahwa modal usaha menjadi hal yang sangat penting dalam penerbitan pers modern yang menekankan profesionalisme sebagai landasan usaha. Begitu pula dengan SOLOPOS saat pertama kali dibangun, untuk mencapai visi yang ditetapkan oleh para dewan pendiri bahwa penerbitan SOLOPOS harus dilaksanakan secara profesional maka perlu dukungan dana yang memadai.

Profesionalisme

Bambang Natur Rahadi selaku Pemimpin Perusahaan Harian SOLOPOS kala itu menyebut bahwa pemodal, dalam hal ini PT Jurnalindo Aksara Grafika (penerbit Harian Bisnis Indonesia) memiliki komitmen untuk menerbitkan koran daerah di Solo ini. Artinya, segala kebutuhan finansial yang berkait dengan sumber daya manusia maupun infrastruktur semaksimal mungkin akan dipenuhi.

Dana yang disediakan untuk SOLOPOS waktu itu awalnya no limit (tidak ada batas). Dalam proyeksi anggaran dari bagian keuangan itu sudah dibuat perkiraan dana selama lima tahun. Dan diproyeksikan dalam tempo lima tahun itu SOLOPOS diproyeksi baru untung. Namun karena proyek SOLOPOS berbarengan dengan krisis ekonomi, maka itu menjadi persoalan tersendiri.

Meski awalnya dana untuk SOLOPOS tidak terbatas, kenyataannya setelah jalan bulan ke-7 sudah tidak ada lagi bahasa no limit karena pada saat-saat seperti itu uang sudah menjadi persoalan termasuk di Bisnis Indonesia selaku induk perusahaan SOLOPOS.

“Kalau mau jujur sebetulnya di bulan-bulan ke-6 setelah terbit itu kami sudah mulai kesulitan karena di Jakarta (Bisnis Indonesia) sendiri sudah ribut. Sampai tahun pertama waktu mulai Maret masuk sampai bulan Maret tahun 1998 saya kira sudah lebih dari Rp3 miliar habis. Dan uang Rp3 miliar waktu itu sudah sangat besar,” ungkap Bambang Natur.

Modal menjadi komponen penting dalam industri pers, karena menurut Jakob Oetama realitas yang berkembang dalam sejarah pers di seluruh dunia memang ke arah profesionalisme seperti itu. Jika pers tidak dapat membiayai dirinya dari penghasilan langganan dan iklan –atau dengan kata lain dari usahanya sendiri—maka pers itu harus memperoleh subsidi dari pihak lain; pemerintah, organisasi politik, atau organisasi kepentingan.

Dalam situasi demikian pers akan terhambat perkembangan profesionalisme dan kebebasannya. Pers yang dalam posisi demikian justru tidak akan dapat menjalankan fungsi “kerohaniannya” atau –yang oleh masyarakat pers kita sering disebut—peranan idealnya (Jacob Oetama, 2001: 307).

Presiden Komisaris Kelompok Kompas Gramedia itu berpendapat, pers tidak dibagi-bagikan secara gratis. Surat kabar yang digratiskan akan kehilangan minat pembacanya, karena dianggap kurang bobot kredibilitasnya. Surat kabar dijual, kecuali untuk memenuhi porsi kredibilitasnya, juga karena proses produksinya memerlukan biaya.

Itu berarti bahwa pers sebagai industri harus memperoleh keuntungan yang berfungsi sebagai komponen untuk keberlangsungan hidup surat kabar itu sendiri; sebab jika hanya impas—sementara ongkos-ongkos produksinya cenderung naik—tidaklah mungkin surat kabar itu mempertahankan kehadirannya.

Surat kabar yang dapat hidup dari penghasilannya sendiri akan lebih dapat menjalankan tanggung jawab idealnya dan memelihara kebebasan yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara memadai (Jacob Oetama, 2001: 308).

Bersambung.... (*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...

Kunci Keberhasilan SOLOPOS (1)

JURNALISME

Semarang, 22 Mei 2009
Kunci Keberhasilan SOLOPOS (1)
Oleh Anindityo Wicaksono (penyunting)
(Sumber gambar: Pusdok SOLOPOS, 2007)

DARI berbagai penerbitan yang lahir di Kota Solo, boleh dikatakan sejauh ini baru SOLOPOS yang tercatat mampu hidup secara komersial serta bertahan dengan tingkat kredibilitas cukup tinggi di kalangan masyarakat. Secara faktual, salah satu hal yang menjadikan SOLOPOS mampu bertahan adalah terkait dengan masih dipercayainya harian ini sebagai salah satu acuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi mereka.

Hal ini bisa dibuktikan dengan respons publik baik pembaca maupun nara sumber yang masih menjadikan SOLOPOS sebagai referensi mereka untuk mengetahui serta menyampaikan berita di wilayah eks Karesidenan Surakarta. Kepercayaan, adalah salah satu kata kunci yang menjadikan SOLOPOS tetap dibaca masyarakat.

Gaye Tuchman (1978), menyebut proses pembuatan berita di ruang redaksi (news room) dengan nilai-nilai yang menyertainya menjadi hal yang menentukan dalam menyusun berita. Dalam konteks sejarah, pers telah berperan dalam memfasilitasi publik yang rasional. Atau pers berperan dalam memfasilitasi public sphare sebagaimana pada sejarah Eropa Abad ke-18-19. Pers dengan isu-isu yang diangkat akan menjadi bahan bagi pembicaraan publik.

Dalam konteks demikian, maka proses encoding di dalam newsroom Harian SOLOPOS memiliki peran yang sangat penting bagaimana nilai-nilai ideologi jurnalis, corporate culture (budaya perusahaan) dilaksanakan dengan konsistensi tinggi oleh seluruh awak di redaksi (Antoni, 2004). Namun dalam pers modern, di mana media massa telah berubah menjadi sebuah industri, bidang usaha (business department) juga memiliki peran yang sangat besar.

Karenanya, ciri khusus industri pers profesional yang memisahkan secara tegas garis kebijakan redaksi dengan usaha seperti telah dilakukan Harian SOLOPOS, menjadikan koran ini sejauh ini masih menjadi referensi terpercaya untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat.

Harian SOLOPOS sebagai salah satu bentuk media massa (pers) pada umumnya, merupakan produk ideologis yang mempunyai misi tertentu sehingga tidak sama dengan produk barang lainnya. Karena itu pula, penyelesaian pekerjaan penerbitan pers melibatkan banyak personel yang ada di bidang redaksional, bidang usaha dan bidang percetakan, dengan segala latar belakang kemampuan mereka guna menuangkan segala ide dan gagasan, menciptakan suatu produk penerbitan berkualitas.

Untuk itu diperlukan suatu sistem kerja yang saling memahami, saling mengerti dan memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap bidang masing-masing. Dalam memproduksi suatu penerbitan pers, masing-masing bidang mempunyai tanggung jawab, peran serta tujuan yang sama.

Untuk itu manajemen penerbitan pers harus mampu menciptakan, memelihara dan menerapkan sistem kerja yang proporsional dengan menumbuhkembangkan rasa kebersamaan di antara sesama personel (karyawan). Tidak boleh ada salah satu bidang perusahaan penerbitan pers, merasa paling penting sendiri. Untuk kepentingan itu diperlukan suatu tatanan kerja dalam organisasi perusahaan penerbitan pers.

Simpulan dari pernyataan di atas, berarti faktor idealisme dan bisnis dalam perusahaan penerbitan pers modern harus berjalan agar perusahaan penerbitan pers itu dipercaya publik. Faktor-faktor itu pulalah yang oleh beberapa kalangan di internal maupun eksternal perusahaan dikatakan telah membuat SOLOPOS mampu bertahan hidup dan berkembang sebagai koran daerah.

Pengelolaan secara profesional antara bidang redaksi dan bidang usaha telah membuat koran ini mampu bertahan sebagai sebuah industri yang sangat sehat. SOLOPOS sebagai perusahaan yang sangat sehat, baik ditinjau dari sisi keuangan, maupun dari sisi pemasaran SOLOPOS.

Manajemen SOLOPOS dari awal memang menekankan manajemen pers modern. Jadi antara redaksi room dan bisnis room itu memang betul-betul berdampingan dan itu membikin SOLOPOS bisa mencapai hasil seperti sekarang.

Indikasi kesehatan keuangan perusahaan itu dengan cashflow-nya yang sehat. Di samping mempunyai idealisme pers, SOLOPOS juga betul-betul profesional dalam menentukan produksi maupun menentukan harga jual produk.

Budaya organisasi

Bentuk organisasi perusahaan penerbitan pers yang baku, hingga saat ini masih belum ada. Masing-masing perusahaan menyusun organisasi tata kerjanya berdasarkan keadaan serta misi yang dimiliki. Tetapi secara sederhana, organisasi perusahaan penerbitan pers umumnya tersusun dalam bidang-bidang redaksi (editor department/newsroom), bidang usaha (business department) dan bidang percetakan (printing department) (Totok Juroto, 2000).

Tatanan organisasi yang khas seperti itu, tentu saja baru akan bisa berjalan baik jika strukturnya tersusun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Stephen P Robbins, dalam bukunya Perilaku Organisasi (2001), menyebut bahwa struktur-struktur dalam organisasi akan mempengaruhi sikap dan perilaku para karyawannya.

Stephen kemudian mengurai, bahwa struktur organisasi itu menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasi secara formal. Ada enam unsur kunci yang perlu disampaikan kepada manajer bila mereka merancang struktur organisasinya. Elemen-elemen tersebut adalah: spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi dan desentralisasi, serta formalisasi.

Keenam unsur itu merupakan jawaban atas pertanyaan struktural yang penting dari; pada tingkat apa tugas dibagikan dalam pemisahan pekerjaan? Dalam basis apa pekerjaan dikelompokkan bersama-sama?

Untuk siapa pekerjaan dilakukan untuk individu dan kelompok? Berapa banyak individu yang dapat diatur secara efisien dan efektif? Di mana letak wewenang pengambilan keputusan? Pada tingkat apa suatu aturan dan kemudahan akan mengatur pekerja dan manajer? (Stephen Robbins, 2003: 177-204).

Dari uraian di atas dapatlah disebut bahwa struktur internal suatu organisasi membantu menjelaskan dan meramalkan perilaku. Artinya, di samping faktor individu dan kelompok, hubungan struktural di mana orang-orang bekerja mempunyai pengaruh yang penting pada sikap dan perilaku karyawan. Apa yang merupakan dasar untuk argumen bahwa struktur mempunyai suatu dampak baik pada sikap maupun pada perilaku?

Sampai tingkat mana struktur suatu organisasi mengurangi ambiguitas untuk karyawan dan memperjelas hal-hal seperti; “Apa yang harus saya lakukan?” “Bagaimana seharusnya saya melakukan itu?” “Kepada siapa saya melapor?” dan “Kepada siapa saya harus bicara bila menemukan masalah?”.

Struktur itu membentuk sikap mereka dan mempermudah serta memotivasi mereka ke tingkat kinerja yang lebih tinggi (hal 205). Kata kunci yang bisa ditarik dari peran penting sebuah organisasi adalah “budaya korporasi”. Andre A. Hardjana, mengutip Terrence Deal dan Allen Kennedy (1982); Charles Hampden-Turner (1990); John Kotter dan James Heskett (1992); menyebut budaya korporasi sebagai corporate culture.

Perhatian terhadap budaya korporasi ini muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi, seperti teknologi, sistem, struktur, strategi, gaya kepemimpinan dan karyawan tidak dapat dipisahkan dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati. Artinya rasionalitas organisasi dalam mengejar tujuan bersama tidak lepas dari posisi sentral martabat manusia.

Rapat redaksi

Catatan sejarah menunjukkan bahwa serangkaian studi tentang budaya korporasi kekalahan Barat dalam persaingan melawan Jepang dalam industri otomotif di tahun 1970-an, meskipun dari segi teknologi, struktur organisasi dan sistem kerja serta insentif ekonominya tidak terlihat perbedaan mencolok (Stephen Robbins, 2003).

Bagaimana dengan struktur organisasi dan peran pemimpin di Harian SOLOPOS dan mampukah menciptakan budaya organisasi yang kondusif? Setidaknya sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi perusahaan penerbitan pers profesional.

Bagaimana pula dengan pandangan pihak eksternal, khususnya mereka yang pernah menggeluti pers di Solo? Danie H Soe’oed, Wakil Pemimpin Umum SOLOPOS, menyatakan media massa sekarang sudah menjadi industri.

“Saya katakan, industri koran bukan lagi melulu mengusung idealisme, tapi juga memikirkan sisi bisnis. Taruhlah kami bikin koran penuh dengan idealisme, tapi kalau tidak laku dijual bagaimana? Segi bisnis juga harus dipertimbangkan. Sekarang faktanya dalam berita-berita lokal ketika ada Pilkada lokal itu kan masyarakat yang tahu. Nah yang kita ungkapkan itu yang diketahui masyarakat, sehingga itu yang kita jadikan bahan, informasi apa yang sedang dibutuhkan masyarakat bukan karena ada kepentingan siapapun,” ujar Danie.

Sesuai dengan sistem organisasi industri pers yang profesional di SOLOPOS, rapat redaksi adalah forum tinggi dalam menetapkan layak muat atau tidaknya sebuah berita. “Paling tidak hal itu dibicarakan sehingga nanti kalau ada kesalahan atau apa berarti kita kecolongan. Ketika koran lain mengangkat berita A kenapa kita mengangkat berita B. Mereka yang bertanggung jawab pada rapat itu. Misalkan saya tidak ikut rapat akan saya tanya, kenapa pilihannya seperti itu?

Jadi ada penjelasan-penjelasan yang harus logis dan dapat diterima oleh kita semua dalam rapat redaksi itu. Tanpa kehadiran Pemred, seharusnya rapat redaksi tetap berjalan. Mekanisme harus jalan terus, yang berjalan kan sistem bukan orang. Seperti waktu saya pergi seminggu, ya rutin pelaksana harian (Redpel) memberikan laporan. Tetapi saya tidak perlu mengawasi 24 jam seperti itu. Jadi sistem yang jalan,” jelas Danie.

Terkait dengan struktur organisasi perusahaan pers di SOLOPOS di mana terdapat bidang keredaksian dan bidang usaha, sebagai penopang bisnis badan usaha memang seringkali ada perbedaan kepentingan. Misalnya ketika ada perusahaan yang mau pasang iklan, dia minta perusahaan itu diberitakan sebagai “imbalan” atas pemasangan iklan.

Jika menghadapi kondisi demikian, pihak SOLOPOS selalu mengatakan bahwa perusahaan Anda bisa diberitakan asal fakta yang ditampilkan memang layak berita. Kalau fakta yang disodorkan ternyata tidak memenuhi kelayakan berita, tentu fakta itu tidak bisa dimuat. Kalau mereka tanya apa layak berita itu? Tentu SOLOPOS akan menjelaskan indikator-indikator kelayakan berita.

Kalau mereka tidak bisa menerima, pihak SOLOPOS akan mengatakan bahwa tidak ada orang luar yang bisa mengatur SOLOPOS. Yang bisa mengatur SOLOPOS adalah dari dalam sendiri. Bagian iklan selalu mengatakan kepada klien bahwa bagian iklan tidak ada hubungannya dengan bagian redaksi. Artinya kalau ada perusahaan yang mau pasang iklan silakan pasang iklan, tidak ada kaitannya dengan pemberitaan.

Lantas mengapa banyak media massa yang terkubur di Solo? Antara lain disebabkan model kepemimpinan yang kurang visioner, tidak profesional dalam menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi terhadap masa depan serta tak mampu menyatukan potensi sumber daya manusia dengan mengkomunikasikan visi untuk mengatasi rintangan-rintangan.

Bersambung....
(*)

[+/-] klik judul kecil di atas untuk melanjutkan...